Sabtu, 04 Juni 2016

Hujan Menyentuh Hati Kita

Saat itu, Rabu 9 November 2011

Masih melekat di ingatanku. Tentang Hujan.

Mengapa hujan begitu jujur?
Ia menjatuhkan dirinya dihadapan manusia.
Hujan juga yang mengantarkan kita pada perasaan sendu. Begitu mendalam. Membuat kita terjebak, bukan hanya pada nostalgia, namun pada perasaan ingin menyepi.

Rasanya, aku ingin menatap lama rinai hujan itu. Mencium basah bau tanah yang sudah berlumur air hujan. Menikmati kelabu langit dan mengharapkan pelangi datang setelahnya.

Hujan ini begitu jujur mengungkapkan perasaan terdalam manusia. Begitu aku merasakan hawa hujan, hatiku langsung membungkam. Hujan ini berhasil membuatku mengakui segala nikmat dan dosa akan perasaan didalam hatiku.

"Wahai hati, Aku jujur. Aku tak mendusta. Inilah yang aku rasakan saat ini" Gumamku waktu itu.

Lagi-lagi, aku jujur pada perasaan dan hatiku sendiri.
Lalu, aku bertanya. Pertanyaan yang sederhana ini.

Mengapa hujan begitu jujur?

Aku belum menemukan jawaban dari kejujuran hujan. Sungguh, aku berharap ada seseorang yang kelak mampu menjawab pertanyaan naif itu.

Dan ketika orang itu menjawab pertanyaanku,...

Ahh. Saat itu pula aku dan dia sedang menatap rintik hujan. Biarlah imajinasi liarku saat itu, mengantarkanku seolah kami sedang berdansa dibawah rintik hujan. Bermesraan bersama suasana syahdu. Tidak ada lagi menyepi dalam hati. Yang ada hanya kedamaian jiwa.

Karena kejujuran hujan, telah menyentuh hatiku, hatinya.
Hati kamu berdua.




0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.