Senin, 12 September 2016

Mereka adalah Mereka



Semua Berawal dari Ini
            Baru saja aku menginjakkan kakiku di FISIPOL kampus impian. Ghilmy menyebalkan sudah menyambutku dengan sangat ramah sekaligus sarkas
“Selamat anda berhasil bangun pagi !”, Begitu katanya.
Ya, kalian sudah tahu proses bullying selanjutnya yang aku hadapi : teman-teman yang lain jadi ikut-ikutan membully aku. Ghilmy berhasil menjadi provokator dipagi-pagi buta.
            Pagiku memang dimulai oleh gelak tawa. Kami bersiap-siap untuk menyelenggarakan salah satu rangkaian acara PPSMB Polgovisme yakni Pekan Berbagi yang ditujukan di SLB Pembina. Semua tampak sudah siap dengan rencana yang ada. Meski ada sedikit kekhawatiran yang aku tutup rapat. Kau tahu apa? Aku takut tidak bisa membaur bersama anak-anak SLB itu.
Sedikit aneh rasanya. Bisa dibilang, aku tidak mungkin menjadi panitia PPSMB Polgovisme tahun ini kalau bukan bujuk rayu temanku, Si Naufal. Posisiku tidak lebih untuk menggantikan Qurri, kawanku yang pindah ke UI dan tidak bisa melanjutkan tugasnya sebagai pemandu debat kelompok Imperialisme. Setelah menjalani semua ini, aku sangat mensyukuri keputusanku untuk menjadi panitia.

Sebuah Pelajaran dari Sang Ibu
Percayalah. Aku bukan pendengar yang baik. Aku belum tentu menjadi teman yang pengertian. Aku takut mendapati diriku yang tidak mampu bermain-main dengan anak-anak di SLB ini layaknya aku bermain dengan anak-anak normal lainnya. Hal itu terbukti. Di awal acara pekan berbagi, aku memilih untuk duduk bersama ibu-ibu di sudut taman daripada membaur bersama anak-anak diseberang sana.
Dari perbincanganku dengan mereka, banyak hal yang aku dapatkan dari sudut pandang seorang ibu. Mereka memang berjiwa besar. Para ibu yang melahirkan anak-anak berkebutuhan khusus disini.
Ada yang bercerita tentang anaknya yang tidak bisa berjalan normal sehingga harus dipapah setiap saat.
Ada juga yang bercerita tentang anaknya yang tidak mau belajar. Ia lebih senang berimajinasi tentang UFO yang akan menghancurkan bumi. Aku cukup terhibur mendengar ibunya bercerita tentang imajinasi sang anak. Aku kagum dengan bagaimana ibu ini bisa hapal setiap detail anaknya berimajinasi.
Kemudian, ada Ibu yang bercerita tentang anaknya yang mudah marah.
Ah. Aku teringat salah satu anggota keluargaku yang punya permasalahan yang sama : mudah marah. Anak yang terindikasi hiperaktif cenderung memiliki sifat ini. Ketika ia masih kecil, ia benar-benar tidak bisa diam dan terus bergerak kesana kemari. Ia benci ketika ada seseorang yang mengecewakan dia. Segala macam barang akan dibanting olehnya untuk melampiaskan amarahnya.  
Sampai ia tumbuh dewasa, aku belum bisa menjadi kakak yang baik untuk dia. Aku masih belum bisa mengerti apa yang sebenarnya ia inginkan di hidup ini. Meski ia sering menceritakan kepadaku perihal game-game yang sangat ia sukai, tentang anime yang ia ikuti, tentang pengetahuannya yang begitu luas dalam memahami dunia ini, tentang ketidakinginannya untuk merokok apalagi minum miras layaknya teman-temannya, tentang dia yang tidak bisa merawat barang-barang, tentang betapa bencinya ia dikecewakan sampai detik ini, dan lain-lain. Semua hal itu hanya dia ceritakan kepadaku. Yang perlu aku lakukan sederhana : Menunjukkan bahwa aku benar-benar ada untuknya
Ingatanku tentang adikku dan pertemuanku dengan anak-anak di SLB itu bagaikan guru yang mengajariku arti menghargai. Bahwa memahami seseorang tidaklah sesulit yang aku pikirkan. Memang, kepekaanku dalam memahami apa yang dirasakan orang lain tidaklah sebesar yang kalian pikirkan. Tapi tahukah kalian? Aku berusaha ada untuk mereka. Entahlah. Aku tersenyum ketika ada yang bertingkah lucu. Aku bahkan bisa tertawa tiada henti ketika mereka berhasil mengerjaiku. Aku juga bergumam di dalam hati dan bertanya-tanya “Bagaimana jika aku menjadi mereka? Apakah aku bisa menunjukkan tawa yang sama sebagaimana mereka tertawa selama ini?”

Reni : “Jangan Takut !”
Satu hal lagi yang tidak bisa aku lupakan. Pelajaran berharga lainnya dimulai ketika aku bertemu seorang anak bernama Reni. Dia mengalami down-syndrome.  Ku amati dia dari awal karena dia terlihat sangat pendiam. “Mungkin dia mengalami kesulitan berbicara” pikirku.
Saat snack dibagikan, aku meninggalkan kawanan ibu-ibu yang sedaritadi aku ajak berbincang-bincang. Aku memberanikan diri untuk lalu-lalang di depan anak-anak itu. Perlahan-lahan aku berinteraksi dengan mereka. Kemudian aku menghampiri Reni yang daritadi terlihat diam dan sendiri. Aku duduk didepannya untuk mengajaknya makan bersama. Dia terlihat tidak protes dan masih saja diam. Lama-lama dia mulai memintaku untuk membukakan bungkus-bungkus makanannya.
Setelah makan, ia menunjuk kearah pelosotan yang terletak hanya beberapa meter dari tempat kami. Kemudian dengan samar-samar aku mendengar dia berkata “Kesana”. Ternyata dia bisa berbicara setelah sekian lama dia diam. Mungkin itu kata pertama yang ia ucapkan hari ini. Entahlah.
Singkatnya, ia mengajakku bermain pelosotan dan serangkaian permainan yang tidak lumrah bagiku. Percayalah. Saat aku duduk dibangku TK, aku satu-satunya anak yang tidak berani mencoba mainan-mainan seperti ini. Mungkin pernah beberapa kali. Itupun hanya jungkat-jungkit. Kalau saja aku tidak takut ketinggian, mungkin tidak akan begini.
“Kamu pasti bisa !” Kata Reni.
“Gak bisa. Aku takut ketinggian” Balasku.
“Jangan takut. Aku tahu kamu bisa”. “Ayo naik ! Aku bantu jagain dari bawah sini”
Reni menarik tanganku. Kali ini ia serius. Aku tidak perlu menceritakan lebih lanjut tentang bagaimana aku bolak-balik pelosotan dan permainan-permainan aneh yang terlihat seperti wahana Hysteria Dufan yang pernah aku coba beberapa tahun lalu. Terdengar berlebihan memang ketika aku mengkomparasikannya. Tapi ini serius.
Aku benci untuk mengatakan ini. Tapi baru saja aku digurui oleh seorang anak kecil. Aku iri melihat keberanian dia yang tak pernah aku miliki. Bahkan ia berani mendatangi kantin untuk membeli sebotol Floridina yang jelas-jelas tidak mampu ia beli dengan receh yang ada di saku celananya.
“Bisa kok. Bisa.” Kata dia kepadaku. Beberapa kali aku meragukan niatnya dan dia tetep kekeh untuk pergi ke kantin.
Kemudian Si Penjual yang ada di kantin itu memberikan segelas es jeruk sebagai pengganti sebotol Floridina yang tak bisa ia dapatkan. Reni tersenyum. Sederhana sekali alasan ia tersenyum : Tak apa bagiku untuk tidak mendapatkan Floridina. Dengan uang seadanya, aku berhasil mendapatkan es jeruk. Tidak ada salahnya untuk mencoba sebelum menyerah.

Untuk Diriku
Aku merasa sangat bersalah untuk mengakui diriku sebagai penyuka anak kecil, ketika aku tidak bisa menerima kekurangan anakku kelak. Entah bagaimana Tuhan akan mengajarkanku untuk menjadi ibu yang baik. Aku tetaplah calon ibu, apapun itu rintangan yang aku hadapi untuk menjadi orangtua bagi buah hatiku. Bagaimanapun kondisi anakku kelak, aku harus menerimanya dengan lapang dada. Semoga Tuhan mengajarkan aku arti keikhlasan sabagaimana aku melihat ada keikhlasan dimata para ibu yang aku temui di SLB ini.
Dan untuk kesekian kalinya. Aku menyadari bahwa aku tidak pantas untuk menghakimi mereka sebagai orang yang tidak bahagia hanya karena mereka berbeda dari aku yang normal ini. Nyatanya, mereka berbahagia dengan hal sederhana. Mereka tersenyum dengan cara mereka sendiri, cara yang tidak pernah kita mengerti. Mereka tidak pernah merasa berkecil hati hanya karena kita, para manusia normal, mengatakan mereka tidak normal.
Mereka adalah mereka. Titik.


0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.