Semua Berawal dari Ini
Baru
saja aku menginjakkan kakiku di FISIPOL kampus impian. Ghilmy menyebalkan sudah
menyambutku dengan sangat ramah sekaligus sarkas
“Selamat anda berhasil bangun pagi !”,
Begitu katanya.
Ya, kalian sudah tahu
proses bullying selanjutnya yang aku hadapi : teman-teman yang lain jadi
ikut-ikutan membully aku. Ghilmy berhasil menjadi provokator dipagi-pagi buta.
Pagiku
memang dimulai oleh gelak tawa. Kami bersiap-siap untuk menyelenggarakan salah
satu rangkaian acara PPSMB Polgovisme yakni Pekan Berbagi yang ditujukan di SLB
Pembina. Semua tampak sudah siap dengan rencana yang ada. Meski ada sedikit
kekhawatiran yang aku tutup rapat. Kau tahu apa? Aku takut tidak bisa membaur
bersama anak-anak SLB itu.
Sedikit aneh rasanya.
Bisa dibilang, aku tidak mungkin menjadi panitia PPSMB Polgovisme tahun ini
kalau bukan bujuk rayu temanku, Si Naufal. Posisiku tidak lebih untuk
menggantikan Qurri, kawanku yang pindah ke UI dan tidak bisa melanjutkan
tugasnya sebagai pemandu debat kelompok Imperialisme. Setelah menjalani semua
ini, aku sangat mensyukuri keputusanku untuk menjadi panitia.
Sebuah Pelajaran dari Sang Ibu
Percayalah. Aku bukan
pendengar yang baik. Aku belum tentu menjadi teman yang pengertian. Aku takut
mendapati diriku yang tidak mampu bermain-main dengan anak-anak di SLB ini layaknya
aku bermain dengan anak-anak normal lainnya. Hal itu terbukti. Di awal acara
pekan berbagi, aku memilih untuk duduk bersama ibu-ibu di sudut taman daripada
membaur bersama anak-anak diseberang sana.
Dari perbincanganku
dengan mereka, banyak hal yang aku dapatkan dari sudut pandang seorang ibu.
Mereka memang berjiwa besar. Para ibu yang melahirkan anak-anak berkebutuhan
khusus disini.
Ada yang bercerita
tentang anaknya yang tidak bisa berjalan normal sehingga harus dipapah setiap
saat.
Ada juga yang bercerita
tentang anaknya yang tidak mau belajar. Ia lebih senang berimajinasi tentang
UFO yang akan menghancurkan bumi. Aku cukup terhibur mendengar ibunya bercerita
tentang imajinasi sang anak. Aku kagum dengan bagaimana ibu ini bisa hapal
setiap detail anaknya berimajinasi.
Kemudian, ada Ibu yang
bercerita tentang anaknya yang mudah marah.
Ah. Aku teringat salah
satu anggota keluargaku yang punya permasalahan yang sama : mudah marah. Anak yang
terindikasi hiperaktif cenderung memiliki sifat ini. Ketika ia masih kecil, ia
benar-benar tidak bisa diam dan terus bergerak kesana kemari. Ia benci ketika
ada seseorang yang mengecewakan dia. Segala macam barang akan dibanting olehnya
untuk melampiaskan amarahnya.
Sampai ia tumbuh dewasa,
aku belum bisa menjadi kakak yang baik untuk dia. Aku masih belum bisa mengerti
apa yang sebenarnya ia inginkan di hidup ini. Meski ia sering menceritakan
kepadaku perihal game-game yang sangat ia sukai, tentang anime yang ia ikuti, tentang
pengetahuannya yang begitu luas dalam memahami dunia ini, tentang
ketidakinginannya untuk merokok apalagi minum miras layaknya teman-temannya,
tentang dia yang tidak bisa merawat barang-barang, tentang betapa bencinya ia
dikecewakan sampai detik ini, dan lain-lain. Semua hal itu hanya dia ceritakan
kepadaku. Yang perlu aku lakukan sederhana : Menunjukkan bahwa aku benar-benar
ada untuknya
Ingatanku tentang adikku dan
pertemuanku dengan anak-anak di SLB itu bagaikan guru yang mengajariku arti
menghargai. Bahwa memahami seseorang tidaklah sesulit yang aku pikirkan. Memang,
kepekaanku dalam memahami apa yang dirasakan orang lain tidaklah sebesar yang
kalian pikirkan. Tapi tahukah kalian? Aku berusaha ada untuk mereka. Entahlah.
Aku tersenyum ketika ada yang bertingkah lucu. Aku bahkan bisa tertawa tiada
henti ketika mereka berhasil mengerjaiku. Aku juga bergumam di dalam hati dan
bertanya-tanya “Bagaimana jika aku menjadi mereka? Apakah aku bisa menunjukkan
tawa yang sama sebagaimana mereka tertawa selama ini?”
Reni : “Jangan Takut !”
Satu hal lagi yang tidak
bisa aku lupakan. Pelajaran berharga lainnya dimulai ketika aku bertemu seorang
anak bernama Reni. Dia mengalami down-syndrome. Ku amati dia dari awal karena dia terlihat
sangat pendiam. “Mungkin dia mengalami kesulitan berbicara” pikirku.
Saat snack dibagikan, aku
meninggalkan kawanan ibu-ibu yang sedaritadi aku ajak berbincang-bincang. Aku memberanikan
diri untuk lalu-lalang di depan anak-anak itu. Perlahan-lahan aku berinteraksi
dengan mereka. Kemudian aku menghampiri Reni yang daritadi terlihat diam dan
sendiri. Aku duduk didepannya untuk mengajaknya makan bersama. Dia terlihat
tidak protes dan masih saja diam. Lama-lama dia mulai memintaku untuk
membukakan bungkus-bungkus makanannya.
Setelah makan, ia
menunjuk kearah pelosotan yang terletak hanya beberapa meter dari tempat kami.
Kemudian dengan samar-samar aku mendengar dia berkata “Kesana”. Ternyata dia
bisa berbicara setelah sekian lama dia diam. Mungkin itu kata pertama yang ia
ucapkan hari ini. Entahlah.
Singkatnya, ia mengajakku
bermain pelosotan dan serangkaian permainan yang tidak lumrah bagiku. Percayalah.
Saat aku duduk dibangku TK, aku satu-satunya anak yang tidak berani mencoba
mainan-mainan seperti ini. Mungkin pernah beberapa kali. Itupun hanya
jungkat-jungkit. Kalau saja aku tidak takut ketinggian, mungkin tidak akan
begini.
“Kamu pasti bisa !” Kata
Reni.
“Gak bisa. Aku takut
ketinggian” Balasku.
“Jangan takut. Aku tahu
kamu bisa”. “Ayo naik ! Aku bantu jagain dari bawah sini”
Reni menarik tanganku.
Kali ini ia serius. Aku tidak perlu menceritakan lebih lanjut tentang bagaimana
aku bolak-balik pelosotan dan permainan-permainan aneh yang terlihat seperti
wahana Hysteria Dufan yang pernah aku coba beberapa tahun lalu. Terdengar
berlebihan memang ketika aku mengkomparasikannya. Tapi ini serius.
Aku benci untuk
mengatakan ini. Tapi baru saja aku digurui oleh seorang anak kecil. Aku iri
melihat keberanian dia yang tak pernah aku miliki. Bahkan ia berani mendatangi
kantin untuk membeli sebotol Floridina yang jelas-jelas tidak mampu ia beli
dengan receh yang ada di saku celananya.
“Bisa kok. Bisa.” Kata
dia kepadaku. Beberapa kali aku meragukan niatnya dan dia tetep kekeh untuk
pergi ke kantin.
Kemudian Si Penjual yang
ada di kantin itu memberikan segelas es jeruk sebagai pengganti sebotol
Floridina yang tak bisa ia dapatkan. Reni tersenyum. Sederhana sekali alasan ia
tersenyum : Tak apa bagiku untuk tidak mendapatkan Floridina. Dengan uang
seadanya, aku berhasil mendapatkan es jeruk. Tidak ada salahnya untuk mencoba
sebelum menyerah.
Untuk Diriku
Aku merasa sangat
bersalah untuk mengakui diriku sebagai penyuka anak kecil, ketika aku tidak
bisa menerima kekurangan anakku kelak. Entah bagaimana Tuhan akan mengajarkanku
untuk menjadi ibu yang baik. Aku tetaplah calon ibu, apapun itu rintangan yang
aku hadapi untuk menjadi orangtua bagi buah hatiku. Bagaimanapun kondisi anakku
kelak, aku harus menerimanya dengan lapang dada. Semoga Tuhan mengajarkan aku
arti keikhlasan sabagaimana aku melihat ada keikhlasan dimata para ibu yang aku
temui di SLB ini.
Dan untuk kesekian
kalinya. Aku menyadari bahwa aku tidak pantas untuk menghakimi mereka sebagai
orang yang tidak bahagia hanya karena mereka berbeda dari aku yang normal ini. Nyatanya,
mereka berbahagia dengan hal sederhana. Mereka tersenyum dengan cara mereka
sendiri, cara yang tidak pernah kita mengerti. Mereka tidak pernah merasa berkecil
hati hanya karena kita, para manusia normal, mengatakan mereka tidak normal.
Mereka adalah mereka.
Titik.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.