Senin, 10 Oktober 2016

Kesadaran Batin untuk Menjadi Pemimpin

Ada satu hal yang membuat sosok Tjokroaminoto begitu dikenang, yakni kehadirannya ditengah-tengah sebuah bangsa yang sedang di kritis. Dia hadir ketika bangsa ini masih ‘tunduk’ menghadapi proses cultuur stelsel yang tak berkesudahan. Setelah semua mimpi buruk itu usai, Belanda hadir dengan ‘politik etis’ atau kita kenal dengan politik balas budi. Tentu tidak lepas dari proses kerusuhan sosial yang terjadi kala itu, di titik ini Tjokro Aminoto masih hadir sebagai sosok mahaguru. 

Mungkin pada konteks Indonesia yang lebih modern saat ini, kita masih mempertanyakan hal yang sama : Apakah bangsa ini sedang kritis? Saya pun mempertanyakan hal yang sama ketika saya membaca buku-buku tentang founding father kita. Kemudian menyadari betapa pentingnya sebuah kesadaran untuk melakukan perubahan. Lagi-lagi saya kembali diperingatkan mengenai hal yang sama ketika Bapak Aji Dedi mengatakan kepada peserta Sekolah Tjokro “Sesungguhnya kemunculan perubahan diawali dari kesadaran batin”. Bahkan sosok Tjokro hadir sebagai manifestasi kesadaran batinnya atas Bangsa Indonesia.

Saya mempertanyakan apa itu hakikat kesadaran batin. Lebih jauh lagi, saya bahkan mempertanyakan darimana pula pemuda zaman sekarang mendapatkan kesadaran semacam itu? Padahal Indonesia yang sekarang, bagi beberapa kalangan, jauh lebih dewasa dari Indonesia sebelumnya. Mungkin saya meyakini hal yang sama ketika menengok kondisi perekonomian kita yang semakin kuat dikancah dunia. Atau ketika melihat proses pembangunan yang semakin progresif dilakukan pemerintah dari masa ke masa. Atau ketika saya menilik kinerja pemimpin muda populis yang digencar-gencarkan sebagai sosok yang diidam-idamkan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Sebut saja diantaranya Menteri Kelautan gagah berani Ibu Susi Pudjiastuti, Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang inspiratif Anies Baswedan, dan puncaknya adalah presiden kita yang merakyat yakni Bapak Joko Widodo. Mereka hanya tiga contoh dari sekian banyak pemimpin baru Indonesia masa kini yang sering kita dengar di berita atau setidaknya di media sosial. Melihat sosok-sosok seperti mereka, akankah mengunggah kesadaran batin kita untuk mengikuti jejak mereka?

Tidak harus lewat politik, pikirku. Ada banyak orang yang berani merubah bangsa ini menjadi lebih baik lewat politik. Namun itu bukan satu-satunya jalan, bukan? Regenerasi pemimpin Indonesia dapat kita temui dalam segala bidang. Yang saya lihat, mereka yang berhasil memiliki kesadaran batin akan menciptakan inovasi sosial yang berarti untuk negara dan bangsa. Sayangnya saya belum sampai pada titik itu. Titik dimana masyarakat disekitar saya berterimakasih kepada jasa saya. Atau tidak perlu berterimakasih, setidaknya masyarakat merasakan efek positif dari kerja nyata yang saya lakukan di masyarakat. 

Bapak Herry Zudianto membuka pembicaraannya pagi itu dengan kalimat seperti ini “Kepemimpinan tidak ada hubungannya dengan jabatan”. Meluruskan persepsi orang-orang awam tentang makna pempimpin, bahwa pemimpin sesungguhnya adalah mereka yang mempengaruhi dan menginspirasi orang lain. Sosok Tjokro tidak hadir sebagai politisi ulung yang selalu tampil di depan layar. Justru ia hadir sebagai saudagar dan guru yang membesarkan sosok-sosok hebat seperti Soekarno, Samiun, dan Kartosurwiyo.

Apapun yang terjadi dengan bangsa ini, pemuda adalah garda terdepan dalam menciptakan perubahan. Pemuda bukanlah mereka yang berumur 20 tahun-an saja. Pemuda adalah mereka yang masih memiliki semangat berjuang. Cara apapun yang kita tempuh untuk menunjukkan itikad baik kita, sudah seharusnya kita kembali berpulang pada satu tujuan utama yakni perubahan yang menolong sesama,

Setelah menuliskan semua ini, saya rasa saya telah melakukan refleksi yang luar biasa terhadap diri saya sendiri sebagai pemuda yang jauh dari kata sempurna, atau setidaknya sebagai calon pemimpin yang masih harus berbenah diri.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.