Aku percaya Tuhan yang menciptakan
akal adalah Tuhan yang sama menciptakan hati. Aku salah ketika memaksa diri untuk
memilih salah satu diantaranya : akal dan hati.
Sial. Aku bukan orang yang setega itu untuk memisahkan keduanya.
Aku berpikir keras agar cinta yang kelak kudapatkan, bukan sekedar cinta
yang penuh buaian seperti novel – novel yang selama ini aku baca. Ah, bukankah dunia
fantasi jauh lebih indah dari realita? Tapi bukan seperti itu yang aku
inginkan. Cinta yang ingin aku dapatkan, adalah cinta yang pantas karena aku
berusaha untuk memantaskan diri.
Untuk urusan cinta, aku berusaha untuk meletakkan pondasinya sebaik
mungkin. Agar cinta yang aku harapkan tidak dihantui oleh rasa takut yang sama,
yaitu takut kehilangan. Bahkan setelah menempuh perjalanan yang indah nan pahit
bersama masa lalu, aku tetap tidak mau menempatkan cinta sebagai wadah bahagia
semata. Atau menempatkan cinta sebagai sarana mabuk kepayang bersama seseorang,
kemudian kamu dibuat lupa diri karena dunia terasa indah bak di surga.
Lebih dari itu, aku berharap cinta datang karena proses yang
mendewasakan.
Bukannya aku takut jatuh cinta. Menurutku, tidak semudah itu untuk memberikan
kepastian atas sesuatu yang bisa saja menghilang seperti cinta. Kau tahu, kita
tahu, semua yang pernah terlibat dalam masa lalu kita tahu. Bahwa cinta seperti
bekas hujan di pagi hari. Ia bisa menguap dan menghilang bagai makhluk tak
berdosa. Para aktor yang pernah singgah dalam cerita masa lalumu, adalah bukti
bahwa cinta bisa hilang bahkan tergantikan dengan mudahnya oleh sosok yang
baru. Di titik ini, aku tidak mau menyangkal bahwa aku pernah begitu menyayangi
seseorang di masa laluku. Tapi lihat sekarang? Aku berhenti menyayanginya. Aku
memilih untuk melupakan dia.
Iya. Bukan kenangannya, tapi orangnya.
Semua ini sederhana. Aku hanya
ingin bertanggung jawab atas kalimat cinta yang aku ucapkan. Aku takut ketika
aku tidak bisa mempertangungjawabkan apa yang aku ucapkan. Manusia kerapkali
memaknai dua insan yang saling mencintai sebagai subjek yang terikat. Begitu
mudahnya mengucapkan ‘aku cinta kamu’ setiap hari kepada pasangan. Lantas, jika
lidahku mampu mengucapkannya saat ini, apakah aku mampu mempertanggungjawabkan
kalimat itu kepada pasanganku kelak?
Bertanggung jawab, itu artinya aku rela susah bersamanya. Bersedia menerima
kekurangannya. Menjadi pendengar pertama di setiap keluh kesahnya dan ikut
menangis bersamanya. Menjaganya dari segala bahaya dan siapapun yang tega
menyakitinya.
Aku rasa aku masih pecundang untuk menjadi orang yang bertanggung jawab.
Sudahlah. Pada akhirnya aku
sepakat bahwa cinta itu perkara apa yang sudah, sedang, dan akan kamu lakukan
terhadap pasanganmu. Belajar untuk mencintai seseorang butuh waktu seumur
hidup. Bagaimana mungkin kamu mengaku dirimu sudah mencintai seseorang dengan
sepenuh hati, jika kamu tidak melakukan itu seumur hidupmu? Kamu belum bisa
dikatakan berhasil sampai kamu membuktikan konsistensimu untuk bertahan
dengannya dengan segala perubahan yang terjadi diantara kalian.
Aku memilih diam dan bergumam
dalam hati bahwa aku berusaha menjadi yang terbaik. Sesederhana ini aku
memaknai cinta. Dangkal memang, Kalian boleh tidak sepakat tentang ini. Aku mungkin
tidak akan mengatakan ‘aku sayang kamu’ apalagi ‘aku mencintai kamu’ kepada
pasanganku. Bukan berarti aku tidak benar – benar menyayangi dan mencintainya.
Aku rasa semua sudah tergambar jelas ketika kita tertawa bahagia dengan
pasangan kita. Beberapa detik setelah senyum kita merekah, saat itulah kita dibuat
jatuh cinta.
“Lalu Apa? Setelah kamu tertawa
bahagia dan berhasil dibuat jatuh cinta meski hanya beberapa detik? Apa yang
mau kamu lakukan dihidupmu bersamanya?“
Suara – suara dikepalaku menggumam lagi.
“Mabuk kepayang itu mudah. Kamu
bisa menciptakan itu setiap saat. Yang sulit adalah mempertahankan dirimu
ketika ombak besar menerjang hubungan yang kamu bangun susah payah. Kamu hanya
akan mengutuk keadaan yang tidak seindah dulu”
Ah. Aku benci mengatakan kalimat yang satu ini. Perubahan. Karena aku
tidak begitu suka beradaptasi dengan situasi yang baru. Kembali pada hipotesa
awal tentang akal dan hati yang harus aku seimbangkan. Dalam menghadapi
perubahan yang tak aku inginkan itu, aku memilih untuk memikirkan akhir dari
semua ini. Aku tidak terlalu memikirkan ‘awalan’ sebagaimana yang dipikirkan
orang - orang pada umumnya. Agak aneh memang.
Akhir dari semua yang ingin aku capai adalah bahagia. Titik.
Ketika aku memikirkan sebuah akhir, aku akan memikirkan hal – hal teknis
dalam proses yang akan aku jalani. Proses yang akan aku nikmati. Tentu saja aku
menciptakannya dengan caraku sendiri. Hatiku tidak bermain sendiri, karena
akalku ikut memainkan perannya untuk memikirkan kemungkinan – kemungkinan yang
bisa terselesaikan dengan logika. Aku rasa, mereka mencoba untuk bersatu dan
tidak bermusuhan disini. Aku harap kali ini berhasil.
Satu lagi. Aku harap aku mampu mencintai diriku sendiri, karena nampaknya
selama ini aku tidak begitu mencintai aku. Darimana aku mulai mencintai diriku
sendiri? Dengan memperbaiki diri? Ah. Menarik.
Semoga Tuhan menjadikanku wanita yang baik. Bukan karena aku sudah baik,
tapi karena aku berusaha memperbaiki diri.
Setidaknya aku harus mencintai diriku sendiri sebelum pantas mencintai
orang lain.
Selamat malam
Kiky. 26 Desember 2016, di tengah hujan yang direncanakan Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.